saya bukan fans Robert Kiyosaki (but I think the 4 quadrant is a good thinking)
saya tidak terpesona dengan ide-ide “financial freedom” seperti yang didengung-dengungkan banyak pakar luar negeri maupun dalam negeri.
menurut saya agak ironis mengejar kemerdekaan finansial sambil mengejar materi dan kekayaan duniawi.
satu-satunya cara mendapatkan kemerdekaan finansial adalah dengan berhenti mengikuti keinginan duniawi. menjadi yogi. menjalani tahap wanaprastha, biksukha. maybe i am wrong, but that’s me.
saya pernah mengikuti seminar/sharing Ligwina yang berjudul Menabung Saja Tidak Cukup (diadakan di tempat kerja saya dulu) .
it was good, but not stellar
tapi buku ini berbeda.
this is a rare gems, a masterpiece. please read this book.
I don’t know Ligwina personally, so I don’t have obligation to say anything good if it is not.
Kenapa wajib membaca buku ini?
1. Buku ini ditulis dengan passion yang menderu-deru untuk sebuah visi yang luar biasa kuat dan genuine.
Luar biasa!
Saya tidak pernah menduga bahwa ide perencanaan keuangan bisa dihubungkan dengan ide besar membangun golongan menengah Indonesia. Tapi itu sangat benar (setelah saya baca sampai habis buku ini) dan saya sangat setuju. Golongan menengah yang punya potensi besar untuk keluar kemiskinan bisa menjadi lokomotif buat nasion kita.
Dalam dua tahun terakhir, ini adalah buku ketiga yang bisa membakar saya… buku pertama adalah Linchpin karya Seth Godin, dan buku kedua adalah Your Job is not Your Career karya Rene Suhardono.
2. Simple dan praktikal: common senses can be common practices
Dalam perjalanan hidup ini, saya sampai pada tahap yang mulai menghargai hal-hal simpel, gampang dicerna dan bisa diterapkan. Buku ini memberikan argumentasi kenapa kenapa kita kaum muda golongan menengah harus berubah dan memberikan cara/contoh yang mudah diterapkan. Bahkan Ligwina memberikan 100 langkah rencana aksi keuangan.
Saya kutip 7 langkah pertama (sisanya baca bukunya yaaaa – capek nih ngetik):
- Memiliki penghasilan
- Memisahkan pengeluaran bulanan dengan pengeluaran mingguan
- Pergi ke ATM seminggu sekali saja
- Mengerti cara kerja kartu kredit
- Utang kartu kredit lunas setiap bulan
- Membayar pajak dan melaporkan SPT
- Punya rencana keuangan sederhana buatan sendiri
3. Mengingatkan tentang pemberdayaan lingkungan sekitar
Buku ini juga membangunkan saya akan satu hal penting. Bahkan jika kita sudah mulai cukup kuat fondasi keuangannya, mulailah melihat saudara kita, teman, para asisten rumah tangga, supir kita. Bisakah kita membantu mengangkat mereka? Misalnya memberi beasiswa anak supir kita atas penghargaan terhadap kesetiaan dan kerja kerasnya? Bisakah kita membantu Mbak di rumah agar gaji bulananya tidak habis untuk membeli pulsa tapi menjadi sesuatu yang lebih berguna?
Menjadi penting menurut saya untuk mengajak teman, keluarga dan kolega saya untuk membaca buku ini dan yang terpenting, mulai melaksanakannya.
notes:
saat menceritakan tentang buku ini sekilas di kelas yang saya ajar tadi pagi, para peserta training meminta saya membawa buku ini ke kelas.
Common sense yang nggak common (should we still call it common sense?)
Mangar,
I am now a man in mission! 🙂
misi gw adalah menjadikan common senses (termasuk yang ngga common) menjadi common practice.
Misalnya common senses yang patut dijadikan common practices:
1. Hemat pangkal kaya: kalau mau kaya segera praktikkan agar hemat (pengeluaran < pendapatan) dan sisanya diinvestasikan/tabung. Ga usah pake nilep, korupsi atau ke dukun 😛
2. Bayar kartu kredit full 100% setiap bulan. Terdengar common senses (atau ngga), tapi kenyataannya 50-70% orang Indonesia ngga bayar full. Mesti diubah tuh
Setuju. Masalah kartu kredit bukan cuma di Indoesia, di negara2 lain juga pengetahuan orang tentang gimana cara kerja bunga kartu kredit minim banget, contohnya ya Oz sini.
Alternatif kredit lain yang orang2 sini ‘ketipu’ itu modelnya, buy now-no payment in 12 months-tapi pas bulan ke 13 bunganya super gede, atau buy now-interest free-tapi ada monthly retainer payment, etc.
Na, bikin kurikulum ‘basic common financial sense’ aja, untuk audience yang beda jadi bahasanya juga harus beda:
1. High school student
2. University student
Kalo generasi mereka bisa dididik bener, we have a future 🙂
Gak tau apa bisa jual ide ini ke sekolah2, tapi elu bisa mulai dari sekolah2 yang ‘progresif’, i.e. sekolah mahal 🙂