street smarts, book smarts, dan kenapa orang yang tidak kuliah lebih sukses menjadi entrepreneur-innovator?

September 18, 2012

Beberapa waktu lalu saya perlu membeli tiket di sebuah counter resmi sebuah airlines. Karena mendadak, saya sampai kesorean. Baik satpam dan front-line nya menolak saya karena

“Maaf, kasir-nya sudah tutup, Pak”.

Berhubung lagi butuh banget, sambil jalan pulang saya coba mampir di sebuah travel kecil dekat rumah.Dan jawabannya?

“Bisa, Pak! Gampaang….”

Ini membawa ingatan saya pada sebuah pencarian panjang mencari jawaban, kenapa orang yang ngga “makan sekolahan” selalu lebih sukses sebagai entrepreneur dan dalam mengeluarkan inovasi baru.

Menurut saya,

Orang yang sudah banyak belajar dan lulus sarjana (book smarts) melihat dunia dan permasalahan dalam kotak keilmuan sesuai keahliannya. terlalu terkotak-kotak dalam profesi, jabatan dan organisasi; sedangkan pengusaha otodidak (street smarts) melihat dunia dan permasalahan secara utuh dari sisi pelanggan sebagai manusia.

Seorang sarjana marketing, hampir selalu menilai ketidakberhasilan suatu perusahaan sebagai masalah marketing: branding kurang kuat, channel communication salah, eksekusi iklan tidak tepat, dan sebagainya.

Seorang sarjana IT, melihat ketidakberhasilan suatu perusahaan karena teknologi ngga up-to-date, hardware dan software perlu diupgrade, banyak legacy system yang kuno, dan sebagainya.

Pakar supply chain management, pastinya akan menyalahkan desain dan eksekusi dari supply chain management perusahaan. Tidak lean, software tidak mendukung, dan sebagainya.

Orang HR? Biasanya ini komentarnya “wah sumber daya manusianya tidak dikelola dengan baik, makanya amburadul”

Pernah melihat debat tentang kemacetan Jakarta? Para politikus mengatakan kemacetan ini adalah masalah politik. Orang bisnis melihatnya sebagai masalah investasi. Para aktivis melihat ini bagian dari konspirasi perusahaan manufaktur mobil agar jualan tetap laku.

kesimpulannya…

If all you have is a hammer, everything looks like a nail

Book smarts jarang sekali melihat permasalahan bisnis sebagai suatu kesatuan dari sisi customer. Kita membawa pisau bedah analisis ke dalam setiap persoalan, sesuai dengan keahlian kita, tapi selalu lupa mensintesa pemikiran menjadi one big picture. 

for book smarts, expertise = business

Nah, bagaimana para street smarts berpikir dan bertindak?

Yang saya obervasi, para street smarts hampir semuanya berangkat dari solusi kepada customer-nya. Dalam cerita tentang tiket diatas, travel agent kecil ini tidak berpikir tentang apakah orang yang jadi kasir masih ada atau ngga. Mereka berpikir, pelanggan ini punya masalah, jadi harus dibantu…karena bagi entrepreneur, dengan memberi solusi, artinya roda perusahaan akan muter terus (alias duit dateng).

for street smarts, providing solution = business

para pebisnis yang ditempa di jalan, mata, telinga dan hidung mereka selalu terbuka untuk  ide dan inspirasi melihat permasalahan dari sisi “customer”. Mereka melihat dari kacamata pelanggan atau calon pelanggan. Apa peluang yang ada?

Kemudian “Aha!”lahirlah ide bisnis atau inovasi baru.

Street smarts tidak peduli apakah nanti perlu branding, supply chain management, IT…itu belakangan. Yang terpenting adalah apakah solusi ini akan berguna buat orang. Kalau berguna, roda bisnis pasti jalan.

“gua ga ngerti nanti gimana jalanin-nya karena gua ga sekolah…yang jelas ide gua kayak gini. Lu bantu cari orang-orang pinter buat di hire” *pernah denger kalimat ini?*

Dalam bahasa yang lebih canggih, street smarts selalu berpikir holistik, cross boundaries.. Mereka berangkat dari suatu kesadaran melihat peluang dari sisi customer. Ini terjadi karena mereka hidup di jalanan, ditempa oleh persaingan yang keras. Setiap masalah adalah peluang.

Book smarts berpikir secara silo dan fragmented. Orang sekolahan melihat segala sesuatu dari kotak ilmu.

Strategy. Economic Value Added. Process. Branding. Employee Engagement. Return on Investment. Compliance.

Blah blah blah.

Dari mana semua ini berasal?

Dari bangku kuliah.

University gives you expertise and (unconsciously) silo thinking.

Coba kita lihat, bagaimana universitas diatur. Ada Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Politik, Fakultas Teknik, Manajemen, Fakultas Kedokteran.Banyak lagi.

Nah, kalau kita lihat di dunia nyata, ada ngga permasalahan hidup yang satu dimensi? Adakah permasalahan hidup yang jelas-jelas hanya masalah ekonomi? Hanya masalah teknik? But most of us the graduates and scholars think that way!

Universitas, selain memberikan ilmu, juga memberikan kebanggaan profesi yang luar biasa. Para profesor sering tanpa sadar menanamkan kebanggaan profesi dan almamater dengan merendahkan jurusan/profesi dan universitas lain. Seakan-akan permasalahan di dunia ini bisa diselesaikan HANYA oleh profesi ini atau almamaternya. Tidak heran ada istilah “menara gading” bagi para pakar yang tidak pernah nyemplung dalam dunia nyata atau sudah nyemplung tapi tidak ada value yang nyata, kecuali teori yang canggih-canggih.Karena tidak relevan dengan dunia yang terlalu kompleks untuk dimodelkan dengan satu ilmu.

 

Moral of the story

Berhubung yang baca tulisan ini kemungkinan udah sempat terlanjur kuliah (para street smarts kemungkinan besar ga akan minat baca tulisan ini ;)), hal yang sangat penting buat kita adalah belajar keluar dari kotak keilmuan kita, dan selalu melihat dari sisi customer secara utuh.

Kita perlu belajar melihat peluang dari sisi pelanggan (I know, easier speak than done).

Kita perlu meruntuhkan sekat-sekat organisasi dan fungsional.

 

Kita perlu belajar berkolaborasi antar profesi, lintas almamater.

Sangat penting buat punya ekspertise. Sangat bagus pandai menganalisis.

Namun sangat penting untuk selalu menanyakan kepada diri kita sendiri:

Solusi apa yang saya berikan kepada masalah ini?