Proyek Fiktif di Chevron? Kenapa Menurut Saya itu Hampir Mustahil

October 22, 2012

Sungguh tidak bisa dipercaya!

Kabar bahwa beberapa karyawan Chevron Indonesia Business Unit ditahan Kejaksaan Agung karena tuduhan bertanggung jawab atas adanya proyek fiktif sungguh mencengangkan saya.

Dengan tetap menghormati proses hukum yang sedang ditangani Kejaksaan Agung, saya ingin sharing opini dari kacamata orang awam hukum, namun cukup mengerti  budaya dan cara kerja Chevron karena saya pernah bekerja disana, walaupun hanya 5 tahun.

Saya menyadari bahwa pendapat saya mungkin akan bias, namun ijinkan saya berusaha seobyektif mungkin menganalisa dari sisi project manajement capability dan juga dari company value & culture. Saya pernah bekerja di dalam, pernah bekerja di perusahaan lain yang tidak kalah besarnya, dan sekarang bekerja sebagai konsultan, saya merasa berkewajiban menyampaikan apa nilai-nilai unggul Chevron dan kenapa hampir mustahil menciptakan proyek fiktif di perusahaan tersebut.

Ini opini saya.

Kenapa hampir mustahil membuat proyek fiktif di Chevron?

Karena mengatakan ada proyek fiktif di perusahaan minyak terbesar Indonesia ini hampir semustahil mengatakan pantai Kuta adanya bukan di Bali, tapi di Malaysia! Why?

Seperti halnya Pantai Kuta yang menjadi icon pulau Bali, Project Management adalah icon Chevron.

Dalam kalimat lain, justru project management adalah puncak keunggulan Chevron dibanding perusahaan-perusahaan lain.

Siapapun yang pernah bekerja di Chevron, baik mantan karyawan (seperti saya) apalagi yang masih bekerja disana, kalau ditanya apa yang paling diingat kalau kita menyebut nama Chevron, saya yakin 80% lebih  akan menyebut CPDEP.

 

CPDEP (Chevron Project Development and Execution Process) adalah kebanggaan sekaligus competitive advantage Chevron. Menurut pendapat pribadi saya, keunggulan project management inilah yang membuat Chevron mampu unggul dan mengakuisisi perusahaan minyak besar lain seperti Texaco (yang sangat jago dalam inovasi teknologi oil/gas) dan Unocal. Chevron sangat piawai mengelola proyek-proyek besar yang artinya mereka unggul dalam mengelola capital mereka; capital stewardship atau cara mengelola modal jumbo adalah syarat maha penting jika ingin sukses di dunia oil/gas.

Jika kita mau jujur, justru disinilah kelemahan perusahaan nasional jika ingin menjadi tuan rumah di bidang migas. Perusahaan nasional masih lemah dalam capital project management.

Nah, apa istimewanya CPDEP apalagi dalam kerangka proyek besar untuk environment ? Bagi yang belum familiar, bolehlah sharing saya ini dianggap Project Management 101 dan sedikit bocoran dari budaya perusahaan yang merupakan produsen minyak mentah terbesar di Indonesia ini.

Pertama, CPDEP menuntut disiplin dan ketelatenan luar biasa. Setiap project capital mendapat pengawasan dari manajemen yang sangat ketat. Apalagi jika project yang dikelola sudah melewati angka USD 5 juta, yang artinya perlu persetujuan BPMigas, biasanya perusahaan minyak manapun ga mau tanggung-tanggung menyiapkan agar tidak kehilangan kredibilitas dimata pemerintah Indonesia.

CPDEP mempunyai 5 phase dimana di tiap phase, akan akan ada tollgate review; project team harus membuat sebuah laporan dan dokumentasi super lengkap dalam paket yang disebut Decision Support Package (DSP). Setiap project manager menghabiskan waktu yang sangat panjang mempersiapkan DSP ini. Di masing-masing tollgate, DSP ini direview oleh DRB (Decision Review Board) yang terdiri dari manager-manager terkait. Jadi selalu diputuskan bersama oleh komite, bukan orang per orang. Jadi jika ada proyek fiktif, tidak mungkin yang bertanggung jawab hanya beberapa orang.

Nah bagi yang punya pengalaman project management, pasti mengalami sendiri bahwa seringkali antara satu phase menuju phase lain akan terjadi recycle (bolak-balik untuk diperbaiki) dan seringkali project di “kill” karena kurang meyakinkan.

Terus terang, saya mungkin tidak akan heran jika Chevron ditegur  BPMigas karena durasi project agak lama karena memang review-nya bolak-balik dengan level yang bisa dua sampai tiga layer. Boro-boro fiktif,  proyek yang lemah pasti tidak mungkin lolos sampai ke phase 3 (dimana project detail plan mulai dibuat).

Tapi adakah project yang kurang berhasil? Jawabannya tentu ada. Ini makanya ada tahap yang namanya lookback, alias setiap project dimonitor dan dipelajari: apakah sukses, apakah kurang berhasil, apa yang bisa dilakukan lebih baik, dan lain sebagainya,

Adakah karyawan yang curang? tentu ada. Tapi ini bersifat oknum atau perorangan. Dan setahu saya Chevron sangat keras dalam memastikan masalah integritas tidak dilanggar.

Dari yang saya tahu, pelanggaran integritas paling banyak di masalah pembelian barang atau urusan kontrak. Hanya di level itu, tidak mungkin sampai level proyeknya yang fiktif.  Di level intitusi, sangat kecil perusahaan multinasional bermain curang. Ini masalah integritas, yang akan saya jelaskan dalam poin kedua.

Kedua, sehubungan dengan integritas, menurut hemat saya, perusahaan Amerika sebesar Chevron akan sangat menghindari melanggar aturan pemerintah Amerika yang bernama FCPA (Foreign Corruption Protection Act).

 

Kepeleset di masalah FCPA, resikonya luar biasa, bisa mengancam induk perusahaan-nya.

Sanksi hukum, sanksi dari media dan Wall Street akan sangat sadis jika sampai terkena pelanggaran itu. Sehingga sepenetahuan saya, perusahaan-perusahaan Amerika seperti Chevron, GE (dimana saya juga pernah bekerja didalamnya) sangat tidak mau kena resiko melanggar FCPA. Setiap karyawan diwajibkan training dan certified setiap tahun (!) tentang hal ini. Membuat proyek fiktif bagi Chevron sama sekali ngga ada untung-untungnya jika melanggar FCPA. dan saya yakin setiap manajemen baik nasional maupun expat sangat-sangat paham hal ini. Why? Karena jika benar mau mendapatkan uang dari cara seperti itu, resikonya adalah bisa menjatuhkan Chevron corporation. Siapapun yang pernah menjadi manager di perusahaan amerika dan masih berpikir menggunakan otak, saya yakin TIDAK AKAN terbersit keinginan selintas-pun untuk melanggar FCPA. Ever. Tidak akan.

Ketiga, Proyek Bioremediasi adalah termasuk proyek HES (health, environment, safety). Ini adalah parameter tertinggi dalam prioritas Chevron. Setiap proyek yang berkaitan dengan kesehatan pegawai, lingkungan dan keselamatan, menduduki peringkat teratas bahkan lebih tinggi dibanding Produksi. Kalau boleh sharing, jika anda mengendarai mobil diatas 40 km/jam di lingkungan Chevron atau kedapatan tidak mengenakan sabuk pengaman, dapat dipastikan promosi anda atau kenaikan gaji anda akan ditunda. Itu yang basic dan kecil. Apalagi proyek besar dan high exposure seperti Bioremediasi, ini pasti mendapatkan perhatian yang sangat tinggi.

Nah, proyek Bioremediasi termasuk proyek yang mencakup ketiga poin diatas: dia menggunakan disiplin CPDEP, proyeknya besar (perlu persetujuan BPMigas) memerlukan integritas dan kehati-hatian tinggi dan termasuk dalam prioritas HES. Walaupun saya tidak mengikuti secara detil, saya 99.99% yakin keseluruhan proses akan mengikuti standar tertinggi yang ada di Chevron. Kalau dianalogikan orang, saya yakin proyek Bioremediasi ini adalah proyek VVIP.

Sangat kecil kemungkinan proyek ini fiktif.

Menurut saya, antara hasil aktual dibanding rencana mungkin ada perbedaan, hal inilah yang harusnya diuji dan diperdebatkan. Jadi itu murni masalah performance, dan bukan masalah fiktif atau proyek sungguhan. Jika hal-hal seperti ini dipidanakan, menurut saya Kejaksaan Agung mengambil asumsi terlalu besar. Bahkan IPA (Indonesian Petroleum Association), BPMigas, Kementerian Lingkungan Hidup pun dalam posisi yang sama dalam membela Chevron.

Demikian opini saya.

Saya menyadari bahwa opini saya hanya berdasarkan pemahaman secara proses dan culture perusahaan; bukan dari kacamata pemahaman hukum ataupun keterlibatan secara detil dalam proyek-nya. Namun demikian, saya selalu percaya, sebuah perusahaan yang bagus akan membangun sistem dan proses yang bagus. Jika dua-duanya bagus, niscaya hasilnya akan bagus.